perkembangan teknologi dalam pendidikan
A. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Bila kita perhatikan sebenarnya awal perkembangan teknologi
pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban dan budaya
manusia, dimana para orangtua bersama kelompoknya bertanggungjawab dalam
mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan
melalui pengalaman langsung dalam keseharian kehidupan mereka dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar. Dunia pendidikan mau mengadakan inovasi
yang positif untuk kemajuan pendidikan. Tidak hanya inovasi dibidang
kurikulum, sarana-prasarana, namum inovasi yang menyeluruh dengan
menggunakan teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan seringkali
diasumsikan dalam persepsi yang mengarah semata-mata pada masalah
elektronika atau peralatan teknis saja, padahal teknologi pendidikan
mengandung pengertian dan penerapan yang sangat luas. Teknologi
pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain,
melaksanakan dan mengevaluasi seluruh kegiatan proses belajar mengajar
dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik. Kemajuan atau
perkembangan teknologi pendidikan sekarang ini tidak terjadi begitu
saja.
Menurut James D Finn seorang Guru Besar Tetap dalam bidang Pendidikan di
University of Southern California (USC), tahun 1920-an adalah awal
perkembangan teknologi pendidikan. Istilah dan defenisi formal pertama
yang berhubungan dengan teknologi pendidikan pada saat itu
adalah”pengajaran visual” yakni kegiatan mengajar dengan menggunakan
alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek, atau alat-alat
yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi
kepada anak. Kelemahan pengajaran visual adalah hanya mengutamakan bahan
itu sendiri, dan kurang memperhatikan desain, pengembangan, produksi,
evaluasi, dan pengelolaan bahan itu. Dengan timbulnya rekaman suara dan
film bersuara, pengajaran visual dikembangkan menjadi pengajaran
audiovisual yang menggunakan perangkat pengajaran untuk menyampaikan
gagasan dan pengalaman melalui mata dan telinga.
Menurut sebagian ahli Teknologi Pendidikan merupakan kelanjutan
perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan
program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Kajian tersebut pada
hakekatnya merupakan usaha dalam memecahkan masalah belajar manusia
(human learning). Solusi yang diambil melalui kajian teknologi
pendidikan bahwa pemecahan masalah belajar perlu menggunakan
pendekatan-pendekatan yang tepat dengan banyak memfungsikan pemanfaatan
sumber belajar (learning resources). Pengajaran audiovisual juga
mengandung dua kelemahan yakni lebih menaruh perhatian kepada bahan
daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap memandang audiovisual
sebagai alat bantu guru dalam mengajar.
Pada akhir Perang Dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dimana
orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi mulai diperhatikan.
Perhatian tidak lagi dipusatkan pada benda-benda, melainkan pada proses
komunikasi informasi mulai dari sumber (guru maupun bahan) sampai kepada
sasaran (siswa).
Usaha untuk merumuskan defenisi teknologi pendidikan secara
terorganisasi dimulai pada tahun 1960. hingga sekarang defenisi
teknologi pendidikan telah berkembang lima kali. Pengembangan defenisi
pertama dilakukan oleh the Technological Develompment Project dari The
National Education Association dengan ketua tim Prof. Dr. Donald P. Ely
pada tahun 1963, yang disebut defenisi komunikasi audiovisual. Defenisi
komunikasi audiovisual ini kemudian berkembang dengan menggunakan acuan
Pendekatan Sistem dan Pengembangan Instruksional yang didefenisikan oleh
the Commission on Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney
Tickton pada tahun 1970. Defenisi yang kedua ini pun dianggap belum
lengkap sehingga Komisi Defenisi dan Terminologi AECT mengeluarkan
defenisi baru sebagai defenisi yang ketiga pada tahun 1972. Defenisi
yang keempat muncul pada tahun 1977 setelah pada tahun 1975 AECT
membentuk Komisi Defenisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Dr. Kenneth
H. Silber dengan anggota sebanyak 26 orang. Laporan komisi ini
diterbitkan oleh AECT “The Defenition of Educational Technology”. AECT
kembali membentuk Komisi Defenisi dan Terminologi pada tahun 1990 yang
dipimpin oleh Barbara B. Seels dengan 21 orang anggota. Setelah
bekerjasama selama tiga tahun komisi ini merumuskan defenisi yang
keempat. Kemudian defenisi yang kelima pada tahun 1994.
Secara singkat sejarah perkembangan teknologi pendidikan sebagai suatu
disiplin keilmuan, pada awalnya berkembang sebagai bidang kajian di
Amerika Serikat. Sebagai istilah, teknologi pendidikan mulai digunakan
sejak tahun 1963, dan secara resmi diikrarkan oleh Association of
Educational and Communication Technology (AECT) sejak tahun 1977,
walaupun adakalanya terjadi overlapping penggunaan istilah tersebut
dengan teknologi pembelajaran. Teknologi pendidikan ditafsirkan sebagai
media yang lahir dari perkembangan alat komunikasi yang bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan dan teknologi pembelajaran menurut
Bambang Warsita bertujuan untuk memecahkan masalah belajar atau
memfasilitasi kegiatan pembelajaran.
Perkembangan kajian teknologi pendidikan menghasilkan berbagai konsep
dan praktek pendidikan yang banyak memanfaatkan media sebagai sumber
belajar. Oleh karena itu, terdapat persepsi bahwa teknologi pendidikan
sama dengan media, padahal kedudukan media berfungsi sebagai sarana
untuk mempermudah dalam penyampaian informasi atau bahan belajar. Dari
segi sistem pendidikan, kedudukan teknologi pendidikan berfungsi untuk
memperkuat pengembangan kurikulum terutama dalam desain dan
pengembangan, serta implementasinya, bahkan terdapat asumsi bahwa
kurikulum berkaitan dengan “what”, sedangkan teknologi pendidikan
mengkaji tentang “how”. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, teknologi
pendidikan memperkuat dalam merekayasa berbagai cara dan teknik dari
mulai tahap desain, pengembangan, pemanfaatan berbagai sumber belajar,
implementasi, dan penilaian program dan hasil belajar.
Romiszoswki (1981) menyebutkan bahwa penggunaan istilah teknologi pada
pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep
produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang
dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Pada tahapan yang sederhana jenis
teknologi yang digunakan adalah papan tulis, bagan, objek nyata, dan
model-model yang sederhana. Pada tahapan teknologi menengah digunakannya
OHP, slide, film proyeksi, peralatan elektronik yang sederhana untuk
pengajaran, dan peralatan proyeksi (LCD). Sedangkan tahapan teknologi
yang tinggi berkaitan dengan penggunaan paket-paket yang kompleks
seperti belajar jarak jauh yang menggunakan radio, televisi, computer
assisted instruction, serta pengajaran atau stimulasi yang komplek, dan
sistem informasi dial-access melalui telepon dan lain sebagainya.
Penggunaan perangkat keras ini sejalan dengan perkembangan produk
indutri dan perkembangan masyarakat, seperti e-learning yang
memanfaatkan jaringan internet untuk kegiatan pembelajaran. Konsep
proses atau perangkat lunak, dipusatkan pada pengembangan substansi
pengalaman belajar yang disusun dan diorganisir dengan menerapkan
pendekatan ilmu untuk kepentingan penyelenggaraan program pembelajaran.
Pengembangan pengalaman belajar ini diusahakan secara sistemik dan
sistematis dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar. Pengembangan
program belajar diawali dengan analisis tingkahlaku yang perlu dikuasai
pendidik dalam proses belajar dan pelahiran tingkah laku setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Tahapan analisis tingkahlaku tersebut
memanfaatkan penggunaan ilmu atau sejumlah pengetahuan untuk mengungkap
kemampuan yang harus dimiliki calon peserta didik, di samping kemampuan
yang harus digunakannya untuk memperoleh kemampuan hasil belajar.
Di Indonesia sendiri penerapan teknologi pembelajaran baru dikenal
sekitar awal tahun 1950-an , dengan didirikannya Balai Kursus Tertulis
Pendidikan Guru (BKTPG) dan Balai Alat Peraga Pendidikan (BAPP) di
Bandung. BKTPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru
Tertulis (P3G Tertulis) bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
penataran kualifikasi guru dengan bahan pelajaran tertulis dengan
berpegangan pada konsep belajar mandiri. BAPP pada awal tahun 1970
diintegrasikan dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru Bidang studi.
B. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih berorientasi teoritis dan
menganggap fungsinya adalah mempersiapkan peserta didik untuk masa depan
yang siap latih. Padahal, dengan semakin berkembangnya kegiatan sosial
ekonomi diperlukan tenaga yang kompeten lebih banyak dan cepat. Hal ini
memicu teumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga yang menyelenggarakan
pelatuhan dan kursus sebagai upaya pendidikan berkelanjutan yang
bersifat terapan. Lembaga-lembaga ini ada yang berdiri sendiri, namun
banyak yang merupakan bagian dari organisasi bisnis, industri dan
public, serta organisasi pemerintah.
Pendidikan dan Pelatihan biasanya dibedakan dengan karekteristik berikut;
Pendidikan:
Waktu relatif lama, pengakuan dengan ijazah atau diploma, kurikum
standar untuk keperluan mendatang, ditujukan bagi mereka yang akan
memasuki lingkungan pekerjaan, program regular dengan pengajar tetap
Pelatihan:
Waktu relatif singkat, pengakuan dengan sertifikat, kurikulum fleksibel
sesuai dengan keperluan, ditujukan bagi mereka yang ada/ sudah dalam
lingkungan kerja dan program tidak regular serta pengajar tidak tetap/
widyaiswara.
Fungsi lembaga penyelenggara ini seharusnya merupakan agen pembaharu.
Lembaga ini perlu memahami perubahan dan kemudian mampu menganalisis
dampak perubahan itudalam lingkungan organisasinya, kemudian
mempersiapkan dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang sesuai
dengan hasil analisisnya. Namun, masih banyak lembaga Diklat yang masih
terbelenggu sehinnga harus menunggu instruksi atau hanya
menyelenggarakan diklat atas permintaan atau perintah lembaga lain yang
lebih tinggi kedudukannya dalam struktur organisasi atau bahakan
tergantung pada alokasi dana yang diberikan.
Tuntutan akan prestasi pegawai baik negeri maupun swasta yang tinggi
memang sudah menjadi bagian dari aspek pemerintahan/ perusahaan.
Faktanya yang ada sekarang memperlihatkan bahwa belum semua pegawai
memiliki prestasi kerja yang tinggi sesuai dengan harapan lembaganya.
Masih banyak terdapat pegawai yang memiliki prestasi kerja rendah.
Aktifitas kerja pegawai menunjukan hasil yang berbeda-beda antara
pegawai satu dengan pegawai yang lainnya, meskipun mereka bekerja pada
bidang dan tempat yang sama. Hal ini membuktikan bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi prestasi kerja pegawai.
Pada kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai Surakarta misalnya,
dimana setiap tahunnya mereka melakukan penilaian terhadap
pegawainya,kemudian dari hasil penelitian inilah divisi menganalisis dan
menentukan pegawai berprestasi. Selanjutnya, dibuatlah rencana
pengembangan karir dan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan pegawai agar
prestasi dan kontribusinya kepada perusahaan terus meningkat.
Berdasarkan contoh kasus tersebut bahwa perusahaan perlu mengadakan
penilaian terhadap pegawainya untuk mengetahui prestasi kerja pegawainya
agar dapat mencapai prestasi yang sebaik-baiknya untuk kemajuan
perusahaan.
Suatu sistem penilaian prestasi kerja yang baik harus bisa menampung
berbagai tantangan eksternal yang dihadapi oleh para pegawai, terutama
yang mempunyai dampak kuat terhadap pelaksanakan tugasnya. Tidak dapat
disangkal bahwa berbagai situasi yang dihadapi oleh seseorang di luar
pekerjaanya, seperti masalah keluarga, keadaan keuangan, tanggung jawab
sosial dan berbagai masalah pribadi lainnya pasti berpengaruh terhadap
prestasi kerja seseorang. Sistem penilaian tersebut harus memungkinkan
para pegawai untuk mengemukakan berbagai masalah yang dihadapinya itu.
Organisasi seyogyanya memberikan bantuan kepada para anggotanya untuk
mengatasi masalahnya itu. Tanpa adanya prestasi kerja yang tinggi,
mengakibatkan tugas-tugas pekerjaan yang diselesaikan kurang baik,
kurang baiknya pelaksanakan tugas yang dikerjakan oleh pegawai
menunjukan rendahnya prestasi kerja pegawai yang akan menggangu proses
pencapaian tujuan perusahaan. Peningkatan prestasi kerja pegawai perlu
memperhatikan hal-hal yang dapat memotivasi pegawai untuk menjalankan
tugas-tugasnya antara lain dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya yang
meliputi kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan akan makan dan minum,
kebutuhan akan keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan
harga diri dan kebutuhan perwujudan diri.
Salah satu faktor yang dianggap penting bagi peningkatan prestasi kerja
pegawai yaitu adanya pendidikan dan pelatihan bagi pegawai atau
karyawan. Karyawan (guru dalam dunia pendidikan) diharapkan menyukai
tantangan dan mampu memecahkan permasalahan dalam pekerjaannya dengan
lebih baik yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya prestasi kerja
secara memuaskan perlu didukung adanya pendidikan dan pelatihan
terlebih dahulu. Pemimpin dalam hal ini perlu memberi kesempatan kepada
bawahan agar mereka dapat mengaktualisasikan diri secara baik dan wajar
di perusahaan. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan oleh Kantor
Kementerian Agama RI misalnya, dengan pendidikan dan pelatihan yang
diikuti guru diharapkan menyukai tantangan dan mampu memecahkan
permasalahan dalam pekerjaannya dengan lebih baik yang pada akhirnya
dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara memuaskan dan
berhasil guna. Dasar hukum penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan
dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 66/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Jabatan Fungsional
Pranata Komputer dan Angka Kreditnya dan lain sebagainya.
Ada anggapan bahwa dengan digalakkan latihan akan menimbulkan pemborosan
karena dianggap bisa mempertinggi biaya dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Anggapan tersebut salah karena justru dengan adanya latihan
akan terjadi penghematan. Misalnya: peralatan yang canggih dan mahal
apabila ditangani oleh tenaga yang kurang terlatih justru menimbulkan
biaya yang sangat besar jika terjadi kerusakan. Maksudnya ingin
menghemat malah menghasilkan pemborosan. Hasil dari penggalakkan latihan
ini memang tidak dirasakan secara langsung karena merupakan investasi
jangka panjang. Demikian halnya dengan pendidik jika tidak mendapatkan
pendidikan dan pelatihan yang memadai maka akan menghasilkan peserta
didik (generasi) yang tidak berkembang ilmu dan teknologinya. Walaupun
tidak dapat dipungkiri banyak pendidikan dan pelatihan yang telah
diikuti oleh sebagian guru namun tingkat atau kualitas ilmu dan
teknologinya tetap sama dengan sebelum mengikuti pendidikan dan
pelatihan. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi jika benar-benar
menerapkan ilmu yang telah diperoleh dari lembaga pendidikan dan
pelatihan yang diikuti.
Instruksi presiden Nomor 15 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972, disebutkan bahwa “ pendidikan merupakan segala usaha untuk membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmaniah dan rohaniah yang berlangsung seumur hidup, baik didalam maupun diluar negeri dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Sedangkan “pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relative singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori.
Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan merupakan proses yang berlanjut karena munculnya kondisi- kondisi baik perkembangan teknologi, perkembangan kurikulum maupun lembaga dalam dunia pendidikan/ pelatihan . Mengantisipasi adanya perkembangan perkembangan lain, kondisi-kondisi baru, mendorong pemerintah untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan tersebut maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memberikan kontribusi yang terbaik dalam pencapaian tujuan, kompetensi bersaing, terlebih lagi pada persaingan global dan tuntutan perkembangan pengetahuan. Lembaga Diklat yang konvensional, belajar itu terjadi karena ada instrukut (widyaiswara) yang mengajar. Lembaga Diklat yang tranformatif akan mampu mengembangkan dan mengelola program BEBAS (Belajar yang Berbasis Aneka Sumber).
C. PENGARUH TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Teknologi telah merupakan bagian integral dalam setiap masyarakat.
Makin maju masyarakat makin banyak teknologi yang dikembangkan dan
digunakan. Bagi sebahagian orang menganggap teknologi mampu memecahkan
masalah kehidupan yang dihadapi. Demikian halnya dengan teknologi
pendidikan sebagai suatu bidang kajian ilmiah, senantiasa berkembang
sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang terus mendukung dan
berupaya mengatasi masalah-masalah pendidikan.
Pengaruh teknologi pendidikan pada lembaga pendidikan dan pelatihan cukup besar antara lain:
1. Teknologi pendidikan membuka wawasan tentang terjadinya perubahan
lingkungan strategis, terutama karena berkembangnya ilmu dan teknologi,
sehingga diperlukannya inovasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan.
2. Penyusunan bahan pada Diklat. Biasanya disajikan oleh widyaiswara
profeisonal. Namun dengan adanya bahan ajar yang disajikan melalui film,
televise dan media lain maka penyusunan bahan dapat dilakukan dalam
bentuk kerjasama tim. Jadi baik orang maupun cara penyusunan bahan
Diklat mengalami perubahan.
3. Mutu bahan ajar akan lebih dijaga, karena melalui teknologi
pendidikan bahan ajar tersebut dapat disebarluaskan ke masyarakat.
4. Dengan adanya media untuk Diklat maka akan ada keseragaman bahan yang
diperoleh oleh peserta. Pengadaan makalah atau bahan ajar telah
mengarah pada keseragaman, namun dengan adanya media lain seperti radio
dan televise maka keseragaman itu akan lebih terjamin. Hal ini terutama
pada penyelenggraan pendidikan maupun pelatihan kelas jauh.
5. Berkembangnya pengertian dan tugas nara sumber pada Diklat. Bila
selama ini nara sumber harus berinteraksi langsung dengan peserta Diklat
maka dengan perkembangan teknologi pendidikan nara sumber dapat
mempersiapkan modul cetakan atau data terprogram dan melalui media dia
berinteraksi dengan peserta dimana dan kapan saja.
Teknologi pendidikan telah mampu mengatasi masalah khususnya pada
lembaga pendidikan dan pelatihan. Misalnya, mempermudah mempelajari
konsep yang abstrak, mudah mengatamati objek yang terlalu kecil/ besar,
mudah menggambarkan peristiwa yang telah lalu, mudah memperoleh
pengalaman langsung serta pemanfaatan waktu pendidikan dan pelatihan
yang lebih efektif dan efisien.
Beberapa penerapan teknologi pendidikan secara menyeluruh, meliputi
semua komponen yang merupakan system, dapat dicontohkan sebagai berikut:
1. Proyek percontohan sistem PAMONG (Pendidikan anak oleh Masyarakat,
Orang Tua, dan Guru) di kabupaten Karanganyar, Surakarta pada tahun
1974, dan disebarkan di kabupaten Malang dan Gianyar pada tahun 1978.
2. Pemasyarakatan P4 melalui permainan yang diuji cobakan di kabupaten Batu, Malang.
3. Proyek pendidikan melalui satelit (Rural Satellite Project) di perguruan tinggi wilayah Indonesia bagian Timur (BKSPT INTIM).
4. Program pendidikan karakter melalui serial televise ACI (Aku Cinta
Indonesia = Amit, Cici, dan Ito) = serial televise (pendidikan) pertama
(dan terakhir).
5. Program KEJAR Paket A dan B.
6. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
7. SLTP Terbuka.
8. Universitas Terbuka.
9. Sistem belajar jarak jauh yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan.
10. Jaringan sistem belajar jarak jauh (Indonesia Distance Learning
Network = IDLN) dan SEAMOLEC (SEAMEO Open Learning Center) yang
berkedudukan di Pustekkom Diknas.
Namun, pengaruh-pengaruh yang telah diungkapkan pemakalah diatas tidak
serta merta positif dan berjalan lancar. Ia akan mempunyai akibat-akibat
lebih lanjut yang menyangkut organisasi, personal, biaya, nilai dan
norma dan sebagainya yang dapat mengarah kepada pengaruh-pengaruh
negatif.
Sebagai akhir makalah ini kami mengutip azas manfaat dari teknologi
pendidikan yang merupakan pendapat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef dalam Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan di
Yogyakarta yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
“Teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus menerus karena
adanya kebutuhan real yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya,
yaitu (i) tekad mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar;
(ii) keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain,
penyempurnaan kurikulum, penyediaan berbagai sarana pendidikan, dan
peningkatan kemampuan tenaga pengajar lewat berbagai bentuk pendidikan
serta latihan; (iii) penyempurnaan system pendidikan dengan penelitian
dan pengembangan sesuai dengan tantangan jaman dan kebutuhan
pembangunan; (iv) peningkatan partisipasi masyarakat dengan pengembangan
dan pemanfaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan; (v) penyempurnaan
pelaksanaan interaksi antara pendidikan dan pembangunan di mana manusia
dijadikan pusat perhatian pendidikan.”
Perlu disadari bahwa semua bentuk teknologi, termasuk teknologi pendidikan, adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Oleh karena itu teknologi itu pada hakekatnya adalah tidak bebas nilai, karena terkandung adanya aturan etik dan estetika dalam penciptaan dan penggunaannya. Namun ada orang-orang tertentu yang menyalahgunakan makna dan/atau penggunaannya, dengan menganggap teknologi itu value-free atau empty of meaning.
Sangat bagus
BalasHapus